- A. Biografi Az Zamakhsyari
Pada usia remaja, al Zamakhsyari mencari ilmu dengan merantau ke Bukhara. Akan tetapi ketika ayahnya meninggal, ia kembali ke Zamakhsyar. Dia di sana kembali menuntut ilmu kepada seorang ulama terkemuka dari Khawarizm. Dengan bimbingan ulama terkemuka yang bernama Abu Mudar an Nahwi (w. 508 H) tersebut al Zamakhsyari dapat menguasai bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat, dan ilmu kalam.[1]
Al Zamakhsyari adalah orang yang juga tertarik pada kedudukan pemerintahan. Hal ini mendorongnya untuk pindah ke Khurasan karena dia merasa di kota sebelumya dia tidak memperoleh perhatian dalam pemerintahan. Seperti yang diharapkannya, di Khurasan ia mendapat sambutan yang sangat baik. Di sana ia diangkat menjadi sekretaris. Akan tetapi al Zamakhsyari belum puas dengan jabatan tersebut, hal ini yang menyebabkan kemudian pindah ke Isfahan, kota pusat pemerintahan.
Bila dilihat dari riwayat perjalanan hidupnya, al Zamakhsyari kurang beruntung dalam mewujudkan keinginannya dalam hal pemerintahan. Hal ini diperkirakan karena adanya dua hal, yaitu pertama, karena al Zamakhsyari adalah salah satu tokoh yang berpaham mu’tazilah yang pada umumnya kurang disenangi oleh kalangan non-mu’tazilah, terutama ketika ia menyeberkan pahamnya tersebut. Sedangkan perkiraan yang kedua yaitu karena ada kekurangan pada fisik al Zamakhsyari yang hanya memiliki satu kaki.
Kemudian pada tahun 512 H, Al Zamakhsyari mulai terserang penyakit. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ke Baghdad. Di sana ia mengikuti kajian hadits oleh Abu al Khaththab al Bathr Abi Sa’idah asy Syafani, Abi Mansur al Harisi. Selain itu juga mengikuti pengajian fiqih oleh ahli fiqih Hanafi, al Damaghani al Syarif ibn al Syajari. Ia benar-benar ingin kembali mendekatkan diri pada Allah dan menjauhi pemerintahan. Dalam usianya yang telah lanjut ia sering mengunjungi Makkah dan dalam kunjungannya yang kedua, ia memutuskan untuk menetap di sana, bertetangga di sebelah Baitullah sehingga ia mendapat gelar Jar Allah.
Beberapa tahun kemudian ia pergi lagi ke Baghdad selanjutnya ke Khawarizmi. Lalu beberapa tahun setelah kembali ke kampung halamannya, ia wafat di Jurjaniyah pada tanggal 256-259 H atau 1132-1135 M. Dalam hidup, sebagian besar waktunya diabdikan untuk ilmu dan menyebarkan paham mu’tazilah.
B. Al Kasysyaf Secara Lebih Mendalam
1. Latar Belakang PenulisanKitab tafsir yang berjudul lengkap Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil ini disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.
Berawal dari permintaan suatu kelompok mu’tazilah yang menamakan dirinya al Fiah al Najiah al ‘Adliyah yang meminta untuk disusunnya sebuah kitab tafsir, kitab tafsir ini kemudian mendapatkan banyak sambutan dari berbagai negeri. Hal ini menyebabkan bertambahnya semangat az Zamakhsyari dalam menulis kitab tafsirnya.
Kitab ini terdiri dari empat jilid, dengan pembagiannya yaitu jilid pertama diawali surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat Al Maidah. Lalu jilid dua dimulai dari surat Al An’am sampai surat Al Anbiya’. Kemudian jilid yang ketiga meliputi surat-surat mulai dari surat Al Hajj sampai surat Al Hujurat. Sedangkan jilid yang terakhir berawal dari surat Qaaf sampai surat terakhir An Naas.
2. Corak dan Metode Penafsiran
Sesuai dengan paham yang dianutnya, Tafsir al Kasysyaf disusun Az Zamakhsyari dengan bernafaskan I’tizali. Oleh karena itu tidak heran kalau dalam menafsirkan al Quran al Zamakhsyari cenderung mengandalkan rasio yang kemudian sering disebut dengan tafsir bi arra’yi. Penafsiran al Zamakhsyari ini juga berorientasi pada aspek balaghah. Dalam mengungkapkan makna-makna Al Quran, al Zamakhsyari biasa menggunakan kata-kata yang indah dan bahasa yang bernilai sastra tinggi, dan karena memang dia dikenal sebagai seorang ahli bahasa, maka dalam penafsirannya pun kaidah bahasa juga sangat diperhatikan.
Zamakhsyari merupakan mufassir yang sangat mementingkan kaidah kebahasaan dalam penafsirannya. Hal ini terlihat ketika beliau menafsirkan surat an-Nisa: 48. Ketika ayat yang membicarakan tentang kesyirikan ini diperdebatkan oleh sebagian ulama tafsir, tentang perbedaan apakah kedudukan dosa syirik sama dengan posisi kabair lainnya disisi Allah SWT. Pertama beliau mengutip perkataan Mahmud : “jika kamu berkata: Sudah menjadi ketetapan bahwa Allah Azza wa Jalla mengampuni kesyirikan bagi orang yang bertaubat”. Sedangkan Ahmad Rahimahullah berkata: “Ahlus sunnah meyakini, bahwa syirik tidak diampuni saja sedangkan apa selainnya dari dosa besar diampuni Allah bagi siapa yang ia kehendaki, dan dosa ini diampuni tanpa adanya taubat. Dan jika disertai taubat, maka baik itu dosa syirik maupun Kabair, maka keduanya diampuni”. Tapi inti penafsiran Zamakhsyari terhadap ayat ini, ialah komentarnya berikut ini: “ayat ini ditujukan kepada orang yang tidak bertaubat, dan sebagiaman yang engkau lihat tidak disebutkan perkara taubat disini. Dan oleh karena Allah memutlakkan tidak adanya pengampunan bagi kesyirikan, dan menetapkan pengampunan bagi dosa-dosa selain itu dengan syarat atas kehendak-Nya”[2].
Meskipun Zamakhsyari mengungkapkan, bahwa ayat ini tidak ada kaitannya dengan taubat, tapi Zamakhsyari tetap memberikan sedikit pembahasan mengenai persoalan ini. Disamping kutipan perkataan Mahmud diatas, Zamakhsyari juga mengemukakan pendapat golongan Qadariyah. bahwa Qadariyah memandang adanya kesamaan antara syirik dan kabair dalam hal tidak adanya pengampunan bagi keduanya tanpa adanya taubat dan tidak juga kehendak Allah berlaku untuk mengampuni dosa keduanya[3]. Meskipun Zamakhsyari adalah seorang Muktazili, dan Muktazilah identik dengan Qadariyah, namun uniknya dalam hal ini Zamakhsyari tidak sepakat dengan pendapat kaum Muktazilah tersebut, bahwa pengampunan dinafikan dari perilaku syirik sesuai dengan bunyi ayat tersebut, sedangkan bagi dosa selain syirik (kabair,-red) tetap diampuni Allah bagi sesuai dengan kehendakNya. Tapi surat an-Nisa diatas dimaksudkan untuk membahas orang yang belum bertaubat[4]. Dari penafsirannya terhadap ayat ini bisa dilihat, bahwa Zamakhsyari tidak mau terlibat dalam perdebatan permasalahan yang sebenarnya tidak dibahas oleh ayat tersebut.
Dalam tafsirnya Zamakhsyari sering juga menggunakan ungkapan fa in Qulta, yang kemudian diiringi olehnya dengan ungkapan fa Qultu.
Sedangkan metode yang digunakan al Zamakhsyari adalah metode tahlili, yaitu meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat.[5] Selain itu ia juga memperhatikan hubungan makna suatu ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lain, atau biasa disebut muhasabah. Oleh karena itu tidak heran bila susunan tafsir al Kasysyaf tersebut disusun sesuai dengan urutan surat-surat dalam mushaf Usmani.
Meskipun menggunakan metode Tahlili, namun untuk mencari tafsir dari ayat tertentu yang terletak ditengah-tengah surat yang panjang tetaplah membutuhkan ketelatenan. Hal ini tak lain karena dalam al-Kasysyaf Zamakhsyari tidak menyertakan nomor ayat, layaknya tafsir-tafsir yang datang belakangan seperti Tafsir Al-Manar, Tafsir al-Maraghi ataupun Shafwatu al-Tafasir.
Tafsir Al Kasysyaf terkenal karena keindahan bahasanya dan juga karena kepandaian Al Zamakhsyari dalam mengupas kemukjizatan Al Quran. Akan tetapi meskipun demikian, tentu saja kitab tafsir ini tak luput dari kritikan para tokoh tafsir yang lain. Di antara kritikan itu, Imam Busykual mengatakan bahwa tafsir tersebut susah dipahami karena di dalamnya banyak menggunakan syair-syair dan kata-kata yang sulit. Selain itu dikatakannya juga bahwa tafsir tersebut sering menyerang madzab lain. Sedangkan para pengkritik lainnya seperti Ignaz Goldziher, Musthofa al Sawi al Juwaini, Haidar Al Harawi, dan beberapa ulama lainnya mengatakan bahwa tafsir tersebut cenderung membela paham mu’tazilah.
KESIMPULAN
Nama lengkap Az Zamakhsyari adalah Abdul Qasim Mahmud ibn Muhammad
ibn Umar Al Zamakhsyari, pengarang kitab tafsir Al Kasysyaf. Dia
dilahirkan di Zamakhsyar, sebuah kota di Khawarizmi, pada hari Rabu
tanggal 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, pada masa pemerintahan
Sultan Jalaluddin Abi al Fath Maliksyah.Setelah ayahnya wafat, ia kembali ke Zamakhsyar. Dia di sana kembali menuntut ilmu kepada seorang ulama terkemuka dari Khawarizm. Dengan bimbingan ulama terkemuka yang bernama Abu Mudar an Nahwi (w. 508 H) tersebut al Zamakhsyari dapat menguasai bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat, dan ilmu kalam.
Ia wafat di Jurjaniyah pada tanggal 256-259 H atau 1132-1135 M. Dalam hidup, sebagian besar waktunya diabdikan untuk ilmu dan menyebarkan paham mu’tazilah.
Ia menyusun kitab ini berawal dari permintaan suatu kelompok mu’tazilah yang menamakan dirinya al Fiah al Najiah al ‘Adliyah yang meminta untuk disusunnya sebuah kitab tafsir, kitab tafsir ini kemudian mendapatkan banyak sambutan dari berbagai negeri.
Tafsir al Kasysyaf disusun Az Zamakhsyari dengan bernafaskan I’tizali. Oleh karena itu tidak heran kalau dalam menafsirkan al Quran al Zamakhsyari cenderung mengandalkan rasio yang kemudian sering disebut dengan tafsir bi arra’yi. Dalam mengungkapkan makna-makna Al Quran, al Zamakhsyari biasa menggunakan kata-kata yang indah dan bahasa yang bernilai sastra tinggi, dan karena memang dia dikenal sebagai seorang ahli bahasa, maka dalam penafsirannya pun kaidah bahasa juga sangat diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf.
http://suryaningsih.wordpress.com/2007/10/03/al-kasysyaf/
[1] Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Studi Kitab Hadits. Yogyakarta: TH Press. 2004. hal 45
[2]Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf. Hal. 532
[3]Ibid Hal. 532
[4]Ibid Hal. 532
[5] Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Studi Kitab Hadits. Yogyakarta: TH Press. 2004. hal 52